Minggu, 16 Oktober 2022

orde baru

| |

 Orde Baru (sering kali disingkat Orba) adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[3] Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.

Latar belakang

Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif tidak stabil.[4] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[4] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[4] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[4] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[5]

Supersemar dan kebangkitan Jenderal Soeharto

Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[3] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[3]

Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.[6] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal.[3] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh.[6] Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.[6]

Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki RachmatBrigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[6] Segera setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Angkatan Bersenjaya Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat, dalam kondisi siap siaga.[6] Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[6]

Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[6] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, [[Brigadir Jenderal] M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa.[6] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[6]

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Blog Archive

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©