Minggu, 20 November 2022

tradisi dan budaya Islam di Jawa

| |

 Penduduk nusantara sebelum Islam datang sudah memiliki kepercayaan, yaitu animisme, dinamisme, Hindu, Dan Budha. Pada zaman itu penduduk Indonesia dalam melaksanakan kepercayaannya menggunakan seni sebagai bentuk upacaranya.


Melihat kenyataan di masyarakat nusantara seperti itu maka para da’i (penyebar agama Islam) menggunakan strategi dakwahnya melalui seni dan budaya upacara mereka. Tujuannya supaya agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh mereka berdasarkan adat budayanya tanpa menghilangkan adat upacara sesuai dengan agama dan kepercayaan.

banner-content-image

Dengan meneladani sikap para wali, sebagai perintis agama Islam Nusantara hindaknya kita bersikap yang positif dan selektif terhadap langkah yang diambil oleh para wali, kita bisa melihat bagian mana yang termasuk menyimpang dari ajaran Islam dan mana yang tidak.


Bagian upacara kebudayaan yang mengandung unsur syirik kita luruskan tidak harus dilarang semuanya. Dengan demikian seni budaya dan upacara adat nusantara masih tetap lestari dan berkembang sampai sekarang dan jauh dari unsur syirik atau menyimpang dari ajaran agama Islam.


Contoh tradisi suku Jawa


Di suku Jawa, khususnya Jawa Tengah terdapat contoh-contoh adat atau tradisi yang bernafaskan Islam, antara lain:


Upacara Sekaten dan Grebeg Maulid Nabi

Tradisi Sekaten dan grebeg Maulid Nabi sudah dilaksanakan sejak pertama penyebaran agama Islam di Jawa. Penyebaran Islam pertama seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga yang mempergunakan instrument musik Jawa gemelan sebagai sarana untuk memikat masyarakat agar menikmati pagelaran seni karawitan.


Untuk pagelaran tersebut mempergunakan dua perangkat gamelan yang memiliki suara merdu, dinamakan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu.


Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 12 Rabiul Awal. Kata sekaten berasal dari bahasa Arab yaitu syahadatain. Upacara ini dimulai dengan membunyikan gamelan kraton bertalu-talu.


Suara gamelan tersebut secara filosofis berbunti: ning, nong, neng, gung, ndang-ndang deng, ndang-ndang dong. Oleh Sunan Bonang, komposisi suara gamelan tersebut diartiken : “ati kang bening mesti oleh kenongan, hawa nafsu kudu meneng, ben agung, mula ndang deng = masuk masjid, ndang-dang dong = biar faham (mudheng)”. Dahulu yang melakukan adalah Sunan Kalijogo untuk berdakwah.


Pada umumnya masyarakat berpartisipasi ikut merayakan hari kelahiran Muhammad ini, dan dipercaya akan memperoleh pahala dan dianugerahi awet muda. Setelah masyarakat datang dan menonton, maka dimulai pembacaan basmalah dan ucapan syahadatain yang sekarang disebut sekaten.


Ucapan syahadat sebagai pertanda taat kepada ajaran agama Islam. Setiap tanggal 5 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dari bangsal Sri Mangantri ke bangsal Pancaniti, dan sore harinya mulai dibunyikan antara pukul 23.00 sampai pukul 24.00 WIB.


Upacara sekaten merupakan upacara keagamaan yang diadakan di keraton Jogjakarta dan keraton Surakarta secara bersamaan. Upacara ini menurut sejarahnya digunakan oleh Hamengkubuwono I pendiri keraton Yogjakarta untuk mengikuti kegiatan peringatan Mulud dan memeluk agam Islam.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Blog Archive

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©